Pesta Monolog III Dewan Kesenian Jakarta

Menjelajahi Kemungkinan Sejarah dan Ruang Imajinasi

Benjon dari Bandung menulis ulang sebuah tafsir sejarah Indonesia, sementara Soprapto Budisantoso dari Makassar menziarahi teks-teks Iwan Simatupang.

Arie MP Tamba
tamba@jurnas.com

Hari pertama Pesta Monolog III Dewan Kesenian Jakarta (14-19/8), Teater Kecil, TIM. Cahaya lampu sorot temaram menyinari panggung yang didekor dengan unik. Untaian hanger pakaian digantungkan tepat di tengah-tengah panggung. Di ujungnya digantungkan sebuah over coat. Di bawahnya, teronggok sebuah kloset, yang menjadi sentral aktivitas selama pertunjukan berlangsung.

Di atasnya duduklah seorang pria setengah baya, mengenakan kaus kutang. Ia melengkapi penampilannya dengan memakai kopiah namun uniknya sebuah sanggul jawa juga menempel di bagian belakang kepalanya.

“Aku sudah membongkar makamku. Aku sedang menyiapkan sebuah tugu untuk Fatmawati, membangun Universitas Hewan di atas kuburan lama. Yang kulakukan cuma belajar menghapus ingatan tentang kamar mandi, supaya aku lebih sanggup menyayangi hewan-hewan,” ujarnya

Sekitar satu jam ke depan, Jack menguraikan cerita hidupnya. Ia bercerita bagaimana ibunya, Fatmawati, lebih mengasihi ketiga ekor herder piaraannya dibandingkan Jack sendiri. Kerap Jack tak bisa membedakan makanan untuk anjing-anjing itu dengan makanan untuk dirinya, “semua piring di rumah kelihatan sama,” katanya.

Di tengah-tengah perihnya ia mengenang masa kecilnya yang keras, Jack masih membela ibunya. Didikan keras ibunya itulah, menurut Jack, yang sekarang menjadikannya seorang Wali Kota. Uraiannya ini, terputus-putus, karena beberapa kali diganggu dering telepon memekakkan dari seseorang bernama Sobron, yang ia suruh untuk menghubungi Nyoto untuk mengatur sebuah demonstrasi.

Ceritanya tentang Fatmawati, sang ibu, bercampur dengan kritik sosial tak jelas, yang mengaburkan keadaan masa lalu, masa kini dan masa sekarang. Ini di tegaskan dengan empat buah banner di bibir panggung, masing-masing bertuliskan, 1945, 1966, 1998, dan 2006, seluruhnya tahun-tahun penting sejarah Indonesia.

Di akhir pertunjukan, Jack kembali ke singgasana klosetnya, kemudian seseorang datang dengan membawa nampan. Sesuatu berwarna merah segar tampak terhidang di atasnya. Untuk bisa menyayangi binatang, Jack ternyata merasa perlu untuk menyantap jantung salah satu anjing peliharaan ibunya.

Absurd dan tak mengenal dimensi waktu, segala sesuatu ditabrakkan begitu saja dalam monolog berdurasi sekitar satu jam itu. Gejolak batin seorang Black Jack, dipertemukan dengan kritik sosial lintas zaman. Penuh. Campur aduk. Ditambah dengan suara-suara memekakkan orang berdemonstrasi, dering telepon, yang keluar dari pengeras suara.

Bagi saya, sebuah pentas monolog adalah salah satu peluang bagi seorang aktor memperlihatkan keaktorannya di atas panggung. Meski ia masih mengharapkan bantuan properti, tata lampu dan musik, sepenuhnya penampilan monolognya hanya mengandalkan kemampuan olah vokal, olah tubuh, penghayatan tafsir serta ekspresifikasinya ke dalam akting – untuk memberi wujud pada segala makna dari naskah yang dibawakannya.

Lebih mudah dari aktor pantomin, aktor monolog memiliki bahan narasi atau peluang verbalitas; sementara aktor pantomin hanya dapat berharap dari pemadatan narasi atau verbalitas yang dikonkretkan ke dalam bentuk pilihan gerak-gerik yang menyaran. Namun, lebih berbahaya dari pantomin, kegiatan monolog justru dapat terjebak pada peluang verbalitas, ketika si aktor salah menafsirkan atau malah gagal mengelakkan verbalitas dari kemungkinan monotonis. Maklum, si aktor hanya berbicara dan memperagakan sendiri, dan tidak akan ada aktor lain yang menolongnya membangun intensitas atau mempertahankan konsentrasi berakting.

Kesadaran seperti ini agaknya disadari sepenuhnya oleh Apito Lahire dari Tegal yang mementaskan Cai pada hari kedua. Menyosokkan tokoh Setan yang sedang terganggu oleh Tuhan, karena ia tak pernah dibiarkan istirahat barang sejenak dari kegiatan menggoda atau menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan sesat, Apito mampu memaksimalkan tubuhnya sebagai sarana peraga bagi berbagai narasi dan deskripsi yang sudah ada pada tataran publik. Bahkan, karena memerankan Setan, Apito memanfaatkan posisi tubuh ekstrem yang tentu saja layak bagi Setan, bila diperbandingkan dengan manusia.



Setan-nya Apito mengambil posisi rebah, mengangkat kedua kaki, dan hanya memakai cawat dengan celana dalam sudah tersangkut di lutut. Jelas ia bukan manusia, melainkan Setan yang sedang menggerutu kepada Tuhan karena ia diperlakukan tidak adil, padahal ia paling setia melaksanakan perintah Tuhan untuk menggoda manusia.

Sampai di sini, Apito berhasil membawa pementasan ke sebuah tataran tafsir yang tinggal diolah untuk berbagai penafsiran lainnya. Namun, lagi-lagi Apito memilih kreatif, dengan sekali lagi mengambil langkah ekstrem, dengan menelanjangkan diri. Maka, selama 30-an menit dari 40-an menit pementasan, sepenuhnya ia tampil telanjang, menggugat dengan berbagai gestur tubuh menyimpang, menghentak-hentak, dan selanjutnya: kencing di atas pentas.

Menyusuri ekstremitas panggung monolog

Dari sisi kesiapan berakting, tentu Apito layak diacungi jempol. Ia sudah mengusahakan sebuah penampilan dengan perhitungan waktu yang ketat atas bioritme tubuh, kapan ia rileks, dan kapan ia dapat kencing. Karena semuanya mampu ia peragakan dengan wajar. Hingga bagi saya, tindakan melepaskan cawat dan sepenuhnya telanjang, bukanlah sebuah langkah ekstrem yang harus dilakukan, ketika cakrawala penonton sudah cukup terpenuhi oleh berbagai peragaan tubuh maupun vokal yang ditampilkan secara khas.

Dan ekstremitas (baca: berlebihan) dari sisi lain juga diambil Anggie Sri Wilujeng yang memainkan cerita Dewi Kunti. Pementasan dimulai dengan panorama mistis yang khas, lingkaran obor (baca: lilin), teratak bambu mengerucut tiga lantai yang di puncaknya dtancapkan kelir wayang dan dua wayang: Arjuna dan Karna. Lalu suara musik ikut mengalun, mengiringi nyanyian Kunti yang sedang menebarkan asap dupa ke berbagai penjuru pentas. Sebuah upacara akan dimulai, serongga momen atau arena refleksi telah dipersiapkan dengan cukup, bahkan sempurna; hingga orang yang usil bisa saja dihinggapi pertanyaan, apakah Anggie akan mampu mengimbangi pembukaannya dengan naskah yang akan diverbalkan berikutnya.

Namun penonton ternyata masih dibiarkan menunggu, karena Anggie merasa belum usai memperagakan persiapan. Kali ini Anggie turun naik teratak, meliuk-liukkan tubuh seperti pesenam, yang tentu saja kalah lincah dan justru menimbulkan cemas dengan pakaian kebaya dan selendangnya yang mengganggu geraknya. Lalu ia kemudian mengambil tempat sebagai dalang di puncak teratak, memainkan wayang Arjuna dan Karna yang sudah dituliskan akan mengadakan berperang tanding. Pertempuran pun dilangsungkan sang dalang Kunti, dan menewaskan Karna. Kunti kemudian menangis sebagai ibu sekaligus takdir, dan pementasan pun selesai. Klimaks yang teramat singkat dibandingkan pembukaan yang berpanjang-panjang.

Bagi saya, yang menarik adalah penafsiran yang dilakukan bahwa Kunti adalah ibu sekaligus nasib yang melahirkan dan menangisi anak-anaknya yang berperang dan salah satunya tewas itu. Kunti adalah ibu yang menyesali takdir dan tak dapat berbuat apa-apa, kecuali melakoni hidup yang perih. Sayangnya, sekali lagi, untuk mencapai klimaks saran perenungan itu, Anggie sempat berlema-lama menampilkan diri sebagai (maaf!) pesenam berkebaya.

Kealpaan yang paling mengganggu adalah apa yang diperlihatkan Yomi dari Aceh yang memainkan naskah Patri pada hari ketiga. Kisah seorang perempuan kaya yang menjadi pembantu di rumah bekas pembantunya. Si perempuan tadinya adalah istri kedua dari seorang juragan kopi di Aceh. Karena ketamakannya, ia meracuni suami dan juga istri ketiga serta keempat suaminya. Hingga harta benda kemudian jatuh ke tangannya. Sementara, istri pertama suaminya yang juga kaya raya tinggal di daerah lain.

Begitulah, sebagai orang kaya baru, si perempuan kemudian senang berpesta dan berjudi. Hartanya pun ludes, dan ia diusir dari rumahnya oleh para penagih utang. Bertahun-tahun kemudian, saat ia hidup sebagai gelandangan, ia bertemu dengan bekas pembantunya yang ternyata sudah menjadi orang kaya karena mewarisi kekayaan dari istri pertama bekas suaminya. Putaran nasib berlangsung. Ia kini di bawah dan menjadi pembantu di rumah bekas pembantunya. Sebuah plot yang tidak menjanjikan bagi pentas monolog, namun menarik dirangkai dalam kisah novelet atau novel. Alhasil, yang tampak di pentas adalah Yomi yang sedang bercerita, dan sebentar-sebentar memperagakan berbagai tokoh, nyaris tanpa ekspresi konflik yang jelas serta target olah tubuh maupun vokal yang ditargetkan. Kecuali bercerita, bercerita, dan selesai.

Pentas monolog barulah kembali ke jalur yang menyenangkan, ketika Soeprapto Budisantoso dari Makassar menampilkan Ziarah-nya Iwan Simatupang dengan maksimal sebagai sebuah pertunjukan monolog: properti, lampu, dan musik minimal, akting dan olah vokal wajar, lalu ia intens memperagakan kehidupan si tokoh novel Ziarah yang sengaja disunting untuk kepentingan pementasan monolog 60-an menit.

Soeprapto boleh jadi bukanlah seorang aktor yang terlalu istimewa, namun ia bermain sangat baik di atas pentas, menggunakan berbagai properti minimalnya dengan total, pas, serta menunjukkan dengan cerdas kekuatan naskah Iwan Simatupang sebagai naskah sarat renungan, kaya dinamika tragi-komedi, yang setiap saat mampu membuat penonton tertawa namun kemudian mengerutkan kening atau tersenyum kecut.

Hidup memang terkadang konyol, lucu, atau menyedihkan, dan kita baru menyadarinya saat melihat kehidupan si tokoh Ziarah yang menggugat Tuhan, merindukan istrinya yang sudah meninggal, lalu berganti kehidupan dari seorang pelukis terkenal menjadi seorang pengecat rumah dan kemudian dinding kuburan. Uniknya, dengan kebebasan menjelajahi kekayaan teks-teks Iwan Simatupang, Soeprapto berhasil pula memasukkan beberapa adegan cerpen-cerpen Iwan Simatupang, Kutunggu Kau di Pojok Jalan Itu, dan Tegak Lurus dengan Langit ke dalam naskah monolognya. Tepuk tangan penonton yang memenuhi Teater Kecil itu pun membahana! Dwi Fitra